Puncak tertinggi dalam penghayatan agama bagi seorang muslim adalah cinta
Iman yang teguh kepada Allah dan Rasul dengan sendirinya akan mengantarkan kepada cinta yang sejati. "Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kamu "
Dalam cinta kepada Allah dengan sendirinya timbul pula cinta kepada Rasul. Sebab percaya bahwa Rasul itu utusan Allah untuk menyampaikan wahyu Ilahi kepada manusia dengan sendirinya menumbuhkan cinta kepada Rasul, tidak boleh tidak
Kita mencintai rasul bukan untuk disembah, tetapi untuk dijadikan teladan hidup. Bukan utnuk disamakan dengan Tuhan, melainkan untuk dijadikan orang yang dipercayai menjadi penunjuk jalan kehidupan ini, agar selamat dunia dan akhirat. Dasar dari cinta ini iaalah cita-cita yang tinggi untuk menempuh hidup yang lebih sempurna, lebih mendekati Nabi saw.
Seorang sahabat dan pembantu Nabi, Tsauban, boleh dikata siang malam dia tidak pernah menjauhi Nabi. Hanya ketika Nabi pulang ke rumah istri beliau sajalah, Tsauban terpisah dari beliau. Tetapi pada suatu hari Tsauban datang dengan muka muram, terbayang kedukaan yang tengah meimpa hatinya.
"Engkau mengapa Tsauban ? Kelihatan wajahmu berubah? Engkau muram saja?
Tsauban menjawab: "Wajahku berubah bukan karena sakit, ya Rasulullah! Cuma pikiranku jadi muram memikirkan keadaan ini. Jika aku terpisah agak lama, terasa sepilah hidupku. Baru kesepian itu hilang bila aku ketemu kembali denganmu. Maka aku teringat akan hari akhirat kelak. Cemas aku memikirkan, apakah di akhirat aku masih bertemu dengan engkau ? Karena jika engkau masuk surga niscaya tempat buat engkau adalah tempat yang tertinggi bersama-sama Nabi-nabi dan rasul-rasul. Jika aku diizinkan masuk surga, tentu tempatku jauh di bawah tempat yang disediakan untukmu. Tentu di akhirat nanti kita tidak bertemu lagi... "
Ibu kaum beriman Asiyah ra menceritakan, seorang sahabat Nabi datang kepada beliau lalu berkata:
"Ya Rasulullah! Engkau lebih aku cintai daripada diriku, engkau lebih aku cintai dari kaum kelurgaku, engkau lebih aku cintai daripada anak kandungku. tetapi sedang aku duduk termenung seorang diri dalam rumahku, teringat aku akan engkau. Aku tidak tahan, lalu aku segera datang melihat wajah engkau. Tetapi bila ingat lagi suatu saat yang mesti datang, yaitu jika aku ingat aku akan mati dan engkau akan mati. Aku tahu bahwa jika masuk ke surga engkau akan didudukkan di tempat yang tinggi bersama Nabi-nabi. Tetapi aku, jika Tuhan memasukkan aku pula ke dalam sorga aku takut di waktu itu aku tidak akan melihat engkau lagi. Karena tempatku tentu jauh dibawah tempatmu...."
Kata ahli tafsir, kejadian inilah yang menjadi sebab turun ayat :
Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin , orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)
Seorang sahabat Syafwan bin Qudamah berkata:
Aku berhijrah bersama Nabi saw ke Madinah. Lalu aku datangi beliau dan aku berkata kepada beliau. "Ulurkan tanganmu ya Rasul, aku hendak membaiat engkau. Lalau beliau mengulurkan tangan. Aku pun berkata, " Ya Rasulallah, aku sangat mencintaimu"
Lalu Rasul menjawab, "Al-mar-u ma'a man ahabba "(seseorang akan bersama dengan yang dicintainya). Artinya sejak dunia sampai akhirat Syafwan akan beserta Nabi sebab mencintai Nabi.
Ketika bilal bin Rabbah, akan wafat, istrinya menangis dan berkata, " Wahai sedih hatiku.
Lalu dengan tersenyum Bilal berkata, "Wahai bahagianya hatiku! Besok aku akan berkumpul dengan orang-orang yang aku cintai, Muhammad dan sahabat-sahabatnya"
Menurut Riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra, Nbi bersabda,
Setengah dari umatku yang sangat cinta kepadaku adalah orang-orang yang datang kemudian sepeninggalku. Mereka ingin sekali hendak melihat aku, dengan keluarga dan harta bendanya sekalian"
Dengan hadis ini jelas cinta kepada Nabi itu tidak akan terputus di hati orang-orang beriman hingga akhir zaman. Cinta kepada Allah dalam rangka iman kepada Allah masih akan bernyala selama Al-Quran masih ada. Pembuktian itu adalah dengan berjihad menegakkan agamanya, berjuang mengokohkan hukumnya, melakukan dakwah, walau orang-orang musyrik tidak menyukainya.
(dikutip dari Renungan Tasauf, HAMKA)